Guru, Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa : Masihkah?
25 November 2025
Beberapa fenomena menarik menggelitik perhatian saya akhir-akhir ini. Pertama, Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Indonesia saat ini, menyebutkan jika penyebab jebloknya nilai matematika TKA 2025 mungkin karena buku yang digunakan untuk belajar dan cara guru mengajar tidak membuat siswa ingin terus belajar matematika. Kedua, seorang guru sekaligus kepala sekolah SMAN 1 Cimarga Banten yang dinonaktifkan karena menegur siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah kemudian menjadi viral karena orang tua dan para murid yang justru mendukung perilaku salah satu siswa yang merokok tersebut. Ketiga, gaji guru yang sempat viral karena hanya mendapat Rp 66.000 dalam sebulan. Serta masih banyak hal yang berkaitan dengan kesejahteraan guru saat ini.
Hal-hal yang menggelitik itu membawa saya pada sebuah istilah yang selalu muncul pada perayaan Hari Guru Nasional, “guru adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa”. Istilah tersebut muncul dari era 1970-an hingga 1980-an. Konteksnya adalah bahwa guru pada waktu itu berjuang mengajarkan siswa-siswinya meski dihadapkan dengan keterbatasan fasilitias dan kesejahteraan yang rendah. Sehingga, guru tidak menuntut apa-apa dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang mulia. Atas landasan inilah muncul Hymne Guru yang diciptakan oleh Sartono pada tahun 1980-an.
Saat ini, istilah penyebutan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa rasanya kurang pas. Karena istilah ini menempatkan guru pada penghargaan moral yang tinggi, sementara minimnya kompensasi dari pengorbanan seorang guru, perlindungan hukum yang kurang hingga kebijakan yang membebani guru dengan administrasi justru seakan-akan dinormalisasi. Belum lagi masalah kesejahteraan guru yang menjadi riak tanpa batas, selalu berulang dan muncul kepermukaan lewat kiriman di media sosial tentang upah guru yang minim serta kondisi ekonomi guru yang di bawah rata-rata. Hal-hal ini bisa jadi menyebabkan hilangnya kualitas dan motivasi guru untuk terus berbenah.
Ketika dari sisi dalam dihantam oleh kesejahteraan yang kurang diperhatikan, sisi luar seorang yang katanya “pahlawan” ini dihadapkan dengan tuntutan profesi membimbing murid dalam ketakutan kriminalisasi. Guru begitu rentan masuk ke area kriminalisasi karena perlindungan hukum yang kurang dalam pemberian jalur penyelesaian konflik dan bimbingan di sekolah. Maka guru menjadi sulit bergerak, membimbing ala “VOC” akan menjadi kriminalisasi, membimbing ala “papi mami i” (dibaca papi mami ai) justru cenderung menjadi generasi AI dan strawberry.
Memang ini menjadi sebuah dilema sosial, menempatkan guru dalam moralitas tinggi sebagai seorang “pahlawan” sementara guru dikriminalisasi, gaji belum pasti, dan metode pengajaran yang belum dibenahi dan terus berganti. Akhirnya, perihal pantas atau tidaknya memanggil guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” saya kembalikan kepada Anda. Sebab seperti di kisah-kisah para pahlawan atau manusia super di film-film, bahagianya itu karena dunia menjadi selamat, tertata dan hidup lebih baik, meski banyak pengorbanan diri sendiri yang dilakukan.
Selamat Hari Guru Nasional 2025 – Guru Hebat, Indonesia Kuat
Artikel ini telah tayang di Kompasiana (25/11/2025) https://www.kompasiana.com/byuinsights/6925676aed6415638c3e54e2/guru-sang-pahlawan-tanpa-tanda-jasa-masihkah